Mengenal Warna-warna Liturgis Gereja Katolik
Seringkali, dalam debat mengenai inkulturasi, kita
bertumbukan salah satunya dengan masalah penggunaan warna liturgis.
Budaya-budaya yang berbeda memaknai warna dengan berbeda pula. Misalnya,
kebudayaan Tiongkok menganggap warna merah sebagai warna kemakmuran. Warna
putih, dalam kebudayaan Tiongkok dianggap sebagai warna kematian yang kerap
dikenakan untuk melayat, sedangkan dalam kebudayaan Barat justru dianggap
sebagai warna kesucian yang layak dikenakan dalam upacara pernikahan. Warna
hitam, yang dalam kebudayaan Barat melambangkan dukacita, dalam kebudayaan Jawa
malah sering digunakan sebagai busana pengantin. Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia itu
multikultural lantas menimbulkan argumentasi dalam pemilihan warna liturgis.
Padahal, warna-warna ini sebenarnya sudah diatur dalam dokumen Institutio
Generalis Missali Romani (Ing.: General Instruction of the Roman Missal),
tepatnya nomor IGMR #346. Semua warna tersebut dipilih karena memiliki makna
yang Kristosentris (berpusat pada Kristus).
Warna liturgis hijau
Warna hijau dikenakan dalam Masa Biasa (Inggris:
Ordinary Time). Masa Biasa ini jatuh sesudah Masa Paskah, mulai Hari Minggu
Pentakosta sampai hari Sabtu sebelum Hari Minggu Pertama Masa Adven. Masa Biasa
berpusat pada masa tiga tahun karya misi Kristus di tengah masyarakat; ini
dilihat dari bacaan-bacaan Injil yang biasanya mengisahkan ajaran-ajaran dan
mukjizat-mukjizat Tuhan di bumi. Warna hijau adalah warna alam dan pepohonan; ia
menyerupai warna tunas-tunas muda yang menyembul pada awal musim semi. Ia
adalah warna kehidupan dan harapan baru, melambangkan harapan yang ada pada
diri kita setelah dicurahkannya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Pada hari
Pentakosta ini Sang Penolong yang dijanjikan hadir di tengah-tengah kita, dan
lahir pulalah Gereja Katolik, yaitu Tubuh Kristus, tanda Kerajaan Allah di
bumi, sekaligus satu-satunya Pengantin Perempuan Tuhan.
Warna liturgis merah
Merah sebagai warna liturgis dikenakan pada
hari-hari berikut:
- Hari Jumat Agung
- Hari Minggu Pentakosta
- Perayaan-perayaan Sengsara Tuhan
- Pesta para rasul dan pengarang Injil (kecuali Santo
Yohanes yang tidak dimartir)
- Perayaan-perayaan para martir
Jika kita cermati, sebagian besar hari-hari itu
memiliki persamaan, yaitu DARAH. Warna merah, yang adalah warna darah, merupakan
lambang pengorbanan Kristus dan para martir-Nya. Melalui warna merah, kita
diingatkan akan Darah Kudus yang telah tercurah bagi kita di kayu salib. Kita
yang telah berdosa melawan Dia, telah ditebus-Nya sehingga semua yang percaya
pada-Nya beroleh hidup kekal. Kita pun juga dikuatkan oleh jasa-jasa para martir
Gereja. Saat ini mereka sudah hidup bersama Allah di surga, namun senantiasa
mendoakan kita, Gereja yang masih berziarah di bumi, agar kelak kita juga bisa
ikut merayakan Perjamuan Anak Domba di surga. Warna merah darah para martir
memberi kita semangat untuk meniru kesaksian mereka dalam mengikuti Kristus
sampai mati.
Selain itu, merah juga melambangkan API, sesuai
dengan Hari Raya Pentakosta. Lidah-lidah api adalah lambang Roh Kudus; api
inilah yang mengobarkan iman para rasul sehingga mereka berani mewartakan
Kristus kepada sahabat maupun musuh. Iman mereka menyala-nyala dan memukau
semua yang mendengar kesaksian mereka, sehingga semakin banyaklah jiwa yang
dimenangkan bagi Kristus.
Warna liturgis kuning (emas) atau putih
Warna kuning (emas) atau putih dikenakan pada:
- Masa Natal
- Perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan
sengsara-Nya)
- Pesta-pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, dan
para kudus yang bukan martir
- Pesta Pertobatan Santo Paulus Rasul (25 Januari)
- Pesta Takhta Santo Petrus Rasul (22 Februari)
- Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis (24 Juni)
- Pesta Santo Yohanes Rasul dan Pengarang Injil (27
Juni)
- Hari Raya Orang-orang Kudus (1 November)
- Misa Arwah (opsional)
Kuning atau putih melambangkan sukacita dan
kemenangan, kekudusan dan kemurnian, serta cahaya ilahi. Melalui kedua warna
ini, kita diingatkan akan peristiwa-peristiwa gembira dalam kehidupan Tuhan
Yesus dan Bunda-Nya, serta juga kesucian para orang kudus yang patut kita
teladani. Peristiwa-peristiwa gembira menunjukkan kepada kita bagaimana
memperoleh kebahagiaan sejati, yaitu dengan mendengarkan dan mematuhi Kehendak
Allah. Kebahagiaan ala Kristen adalah kebahagiaan yang berlandaskan kepercayaan
akan janji setia Allah melalui suka dan duka, tidak melulu gejolak emosi yang
hanya sementara saja. Putih juga adalah lambang kebangkitan, maka warna
ini digunakan pada Masa Paskah untuk memperingati kebangkitan Kristus seturut
Kitab Suci. Warna putih, walaupun boleh dikenakan saat Misa arwah seturut PUMR
(versi bahasa Inggris) secara teologis tidaklah tepat untuk mengenakan warna
tersebut. PUMR juga tidak memberikan ketentuan warna apa yang harus menjadi
prioritas, semua disamakan dalam status opsional. Namun, warna yang seharusnya
digunakan ialah warna hitam. Silakan baca artikel berjudul Penggunaan Warna
Hitam dalam Liturgi.
Warna liturgis ungu
Warna ungu paling sering dikenakan selama Masa Adven
dan Masa Prapaskah, serta juga dapat dikenakan dalam Misa Arwah sebagai
pengganti warna hitam. Warna ungu terutama melambangkan pertobatan dan
penitensi. Warna ini, yang disebut juga violet, mengingatkan kita akan bunga
violet yang kuntumnya tertunduk ke tanah sebagai simbol kerendahan hati. Masa
Prapaskah adalah masa untuk memperbanyak puasa, doa, dan amal kasih; kita
dengan rendah hati menyesali dosa-dosa kita sementara menantikan hidup baru di
dalam Kristus yang wafat dan bangkit. Sementara itu, Masa Adven adalah masa penantian akan
kelahiran Mesias yang dijanjikan para nabi. Warna ungu pada Masa Adven sesuai
dengan warna semburat fajar sebelum terbitnya matahari; dengan penuh harapan
kita menunggu datangnya Sang Timur yang akan menghalau kegelapan dosa.
Terakhir, warna ungu pun sesungguhnya warna
kerajaan; pada zaman Yesus, ungu merupakan warna yang mahal karena memerlukan
zat warna khusus. Jubah warna ungu seringkali dikenakan oleh raja, atau untuk
menyambut raja.
Warna liturgis hitam
Warna hitam mungkin sekarang jarang sekali
dipergunakan, namun warna ini juga merupakan salah satu warna liturgis Gereja. Warna
hitam biasanya digunakan saat:
- Peringatan Arwah Semua Orang Beriman
- Misa Arwah
Hitam adalah warna yang melambangkan duka atas
kematian, serta gelapnya makam orang mati. Lalu mengapa Gereja mengenakan warna
yang murung ini?
Meskipun iman kita adalah iman yang penuh
pengharapan, namun iman kita juga menyadari realita dosa dan penghakiman. Kita
tidak dengan serta-merta menghakimi apakah jiwa seseorang masuk neraka atau
masuk surga. Kita memang memiliki pengharapan atas kebahagiaan jiwa-jiwa
terutama jiwa-jiwa Kristen, namun dengan rendah hati kita juga mengakui bahwa
kita tidak mengetahui hasil penghakiman Allah atas jiwa tersebut. Gereja selalu menekankan bahwa kita semua adalah
pendosa yang harus terus bertobat dan memperbaiki diri. Karena itulah, memiliki
pengharapan bukan berarti kita tidak berdoa dan bertobat; justru pengharapan inilah
yang semestinya mendorong kita agar semakin menyadari kelemahan-kelemahan
manusiawi kita di hadapan Allah. Warna hitam mengingatkan kita akan realita ini,
serta kemungkinan terburuk yang kita hadapi apabila kita tidak berusaha hidup
kudus. Jika kita menganggap keselamatan itu “otomatis”, kapan kita mau serius
mengikuti ajaran-ajaran Kristus? Maka, baiklah kita saling mendoakan dan
menguatkan agar kita semua boleh mendapatkan kebahagiaan abadi bersama Allah
dan para kudus di surga. Jangan lupa juga untuk mendoakan mereka yang masih
berada di Api Penyucian; mereka ini jiwa-jiwa suci yang rendah hati, yang belum
merasa pantas untuk menikmati surga sehingga rela dimurnikan terlebih dahulu.
Doakanlah supaya Allah berkenan untuk segera menghadiahkan surga kepada mereka.
Warna liturgis rose
Warna rose ini mungkin jarang kita lihat karena
tergolong warna opsional (boleh dikenakan, boleh tidak), namun sebaiknya
digunakan (silakan membaca artikel berjudul Kasula Rose dan Minggu Sukacita).
Warna rose hanya digunakan pada Hari Minggu Ketiga Masa Adven, yang disebut
sebagai Minggu Gaudete; dan Hari Minggu Keempat Masa Prapaskah, yang disebut
Minggu Laetare. Untuk Masa Adven, kita mungkin ingat bahwa warna rose ini cocok
dengan rangkaian lilin Adven, yang terdiri dari 3 lilin ungu dan 1 lilin rose. Warna rose mengingatkan kita bahwa kita sudah
memasuki pertengahan masa penantian kita. Rose adalah warna kebahagiaan, sebab
waktu penantian kita tidak lama lagi. Kita meyakini janji setia Allah akan
keselamatan yang datang melalui Mesias, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus. Namun perlu diingat bahwa warna rose dikelilingi
oleh warna ungu; maksudnya, kita harus tetap menjaga sikap hati dalam suasana
tobat dan penyesalan, agar layak dan pantas menyambut kelahiran Mesias, serta
kebangkitan-Nya yang membawa keselamatan dan hidup abadi.
Pertanyaan
selanjutnya adalah: Mengapa kita perlu mengikuti kaidah-kaidah liturgis seperti
ini?
Saat menyembah Allah sebagai satu kesatuan Gereja
Universal, maka baiklah kita berbicara dalam satu bahasa. Ya, bahasa itu adalah
bahasa Liturgi Suci. Ingat, Allah menceraiberaikan Israel Lama dengan
mengacaukan bahasa mereka; selanjutnya, Allah pula yang menyatukan Israel Baru
(Gereja) dengan mencurahkan karunia berbahasa. Kini Gereja telah berbicara
dengan satu bahasa dalam satu iman dan satu baptisan; baiklah kita dengan
rendah hati mempelajari bahasa ini sebagai satu kesatuan Tubuh Mistik Kristus.
Sesuai sumber aslinya : Lux Veritatis 7